Permasalahan Buruh Dan Kondisinya Dikala Ini
Sebelumnya Mari Kita Renungkan Sejenak, Arah Perjalanan Bangsa Ini. Semoga dengan momentum Hari Buruh 1 Mei 2014 ini, mempersembahkan secercah keinginan bangsa ini semoga menjadi bangsa yang menghargai sesama dan Pelaksana Pemerintahan Serta pengambil Keputusan sanggup berlaku adil dan bijak.
Dalam periode globalisasi, pemerintah harus mengakomodasi tekanan internasional terhadap kebijakan pemerintah yang berkenanaan dengan masalah humanisme. Sebagai pola nyata ialah : gosip bahaya abolisi fasilitas bea masuk (Generalized System of Preferences – GSP) oleh Pemerintah dan Parlemen Amerika Serikat pada tahun 1993 terhadap bea masuk produk-produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Ancaman tersebut berkaitan dengan derma hak-hak buruh dan praktek buruh anak di Indonesia.
Pemerintah dituntut berperan untuk menengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dengan cara membuat hukum permainan dan mengatur kompromi diantara pihak-pihak berkepentingan. melaluiataubersamaini demikian pada hakekatnya, dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila (HIP), kebijakan UMR ialah titik keseimbangan sebagai hasil musyawarah bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini cukup jelas, yakni menunjukkan betapa upah tenaga kerja sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Sehingga yang muncul ketidaksatu paduan buruh dan pengusaha, justru rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan antara satu dan yang lain semakin mengkristalisasi perbedaan orientasi masing-masing.
Baik buruh maupun pengusaha berusaha meraih kemakmuran ekonomi. Menurut filsuf Yunani, Plato, kemakmuran ekonomi spesialuntuk bisa dicapai melalui pertolongan kerja yang adil. Keadilan sendiri harus bersifat istimewa, lantaran didalamnya terdapat legalisasi dan penghormatan terhadap hak individu.
Jika hendak menuntaskan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus bisa mencakup beberapa aspek penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh perjuangan penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan spesialuntuk bersifat kasuistis dan parsial, maka problem fundamental seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai. Pemerintah melaksanakan banyak sekali langkah yang bisa mempersembahkan nilai dan rasa keadilan, tidak saja bagi para pengusaha tapi juga bagi para buruh. Adanya pendapat bahwa problem ketenagakerjaan bukan semata-mata masalah buruh dan pengusaha, melainkan masalah bangsa ialah benar adanya. Maka, sudah semestinya pemerintah berupaya mempersembahkan penyelesaian yang adil bagi tiruananya.
Bahwa pemerintah harus memperhatikan kepentingan para pengusaha semoga roda perekonomian negeri ini sanggup terus bergerak itu benar. Namun, cara-cara ini mestinya tidak harus dengan mengorbankan para buruh. Sekedar contoh, pemerintah sesungguhnya bisa menempuh banyak sekali upaya untuk menghilangkan banyak sekali faktor yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi perusahaan. Misalnya, izin-izin dipergampang dan pungutan-pungutan liar harus dibabat. Karena, sudah menjadi diam-diam umum, pungutan-pungutan itu sangat besar. Penciptaan iklim bisnis yang aman akan memmenolong menyehatkan perusahaan sehingga perusahaan pun sanggup berbuat adil kepada para pekerjanya.
Sumber:
Berbicara konteks kesejahteraan, kehidupan buruh cenderung marjinal dan tak sesuai dengan hak-hak manusiawi. Berbicara hak-hak pekerja/buruh, berarti kita membicarakan hak-hak asasi maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi ialah hak yang menempel pada diri pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa semenjak lahir dan kalau hak tersebut terlepas/terpisah dari diri pekerja/buruh itu akan menjadi turun derajat dan harkatnya sebagai manusia, sedangkan hak yang bukan asasi berupa hak pekerja/buruh yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifanya non asasi.
Memang hampir di tiruana negara ketika ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal demikian terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara mempersembahkan bermacam-macam problem riil, sehingga terkadang memunculkan banyak sekali problema yang tidak sama.
Seperti Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, problem ketenagakerjaan hingga ketika ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat penghasilan yang rendah hingga jaminan sosial yang nyaris tidak ada. Belum lagi, perlakuan yang merugikan pekerja, menyerupai penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, hingga pelecehan seksual. Sehingga banyak masyarakat Indonesia menjadi tenaga kerja luar negeri. Namun mereka, masyarakat negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, banyak yang mengalami nasib yang kurang beruntung lantaran lemahnya Indonesia di Mata Dunia yang dipandang sebagai negara para koruptor dan kurang menghargai masyarakat terutama buruh.
Namun di dalam perjalanannya di Indonesia sebagai negara yang menginginkan kesejateraan masyarakatnya yang tersirat dan terkandung di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, masih belum bisa menuntaskan masalah perihal hak-hak kaum buruh dengan baik. Akar permasalahan yang terjadi pada buruh masih terletak pada persoalan-persoalan kekerabatan antara janji pengusaha dan pemerintah yang balasannya diberimbas jelek pada buruh dan makurakat sebagai konsumen. Hal itu disebabkan adanya praktik-praktik gratifikasi, kolusi, nepotisme dan Korupsi yang melanda setiap cuilan pelaksana pemerintahan mulai dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling tinggi. Imbas dari kelalaian pengawasan, dan penetapan keputusan yang tidak adil mempersembahkan masalah pada buruh berupa:
- Problem Upah. Salah satu problem yang pribadi menyentuh kaum buruh ialah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah/penghasilan yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara penghasilan yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Sistem pengupahan di Indonesia, diwujudkan dalam suatu sistem yang khas Hubungan Industiral Pancasila (HIP). Dalam HIP, kepentingan pengusaha dan buruh diwujudkan dalam suatu musyawarah. Ini berarti HIP mempersembahkan kedudukan (bargaining power) yang seimbang antara pengusaha dan buruh. Dalam HIP, kedudukan pengusaha dan buruh ialah partnership yang seharusnya saling memahami dan menghormati, mengingat kedua-duanya mempunyai tanggung jawaban yang sama dalam berproduksi. HIP meletakkan kekerabatan ideal antara pengusaha dan buruh sebagai kekerabatan yang harmomis. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, lantaran upah ialah masukana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya besar lengan berkuasa pada perkembangan perekonomian nasional atau daerah. Untuk memmenolong mengatasi problem upah/penghasilan, pemerintah biasanya membuat "Batas minimal penghasilan" yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD). Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik perjuangan kepada buruh, lantaran membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR dan UMD ini biasanya dihitung bersama banyak sekali pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di kawasan yang bersangkutan. Penetapan UMR sendiri sesungguhnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya janji upah antara pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya kiprah jasa buruh dalam mewujudkan hasil perjuangan dari perusahaan yang bersangkutan.
- Problem Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan Hidup. Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan fundamental insan ialah tiruana kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi insan mencakup kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktulisasi sebagai manusia. Implikasinya ialah setiap insan berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa insan ialah mahluk biologis yang mempunyai kebutuhan dasar biologis mencakup kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para buruh spesialuntuk mempunyai sumber pendapatan berupa upah/penghasilan, maka pencapaikan kesejahteraan bergantung pada kemampuan penghasilan dalam memenuhi banyak sekali kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah penghasilan relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dan lain-lain.) Hal ini menimbulkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah. Sejatinya, negara tidak lepas tangan dari perjuangan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat negara, apalagi yang menyangkut kebutuhan pokok. Kondisi yang menimpa kaum buruh, memang tidak jauh beda dengan lebih banyak didominasi rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada spesialuntuk sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh cukup diselesaikan antara buruh dan pengusaha semata. Padahal dwi pihak, kaum buruh selalu tak bisa berbuat apa-apa bila berhadapan dengan pengusaha.
- Problem Pemutusan Hubungan Kerja. Salah satu problem besar yang dihadapi para buruh ketika ini ialah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pemutusan kekerabatan kerja menjadi momok angker bagi buruh dan menambah bantuan pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan ialah satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi tragedi besar yang bisa-bisa membuat buruh traumatis. Secara umum PHK terjadi lantaran beberapa sebab, menyerupai seruan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau lantaran meninggal dunia. Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar di kalangan buruh lantaran beberapa kondisi dalam kekerabatan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem kekerabatan buruh pengusaha sudah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.
- Problem Tuntidakboleh Sosial dan Kesehatan. Dalam masyarakat kapitalistis menyerupai ketika ini, kiprah negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan masyarakat negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal kiprah negara sebagai "pengurus dan penanggung jawaban pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya". Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena tragedi atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak bisa bekerja lantaran usia, kecelakaan, PHK atau alasannya ialah lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menimbulkan kesusahan hidup luar biasa, terutama bagi seorang masyarakat negara yang sudah tidak sanggup bekerja atau bekerja dengan penghasilan sangat minim hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
- Problem Lapangan Pekerjaan. Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon buruh yang banyak, sedangkan lapangan perjuangan relatif sedikit; atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang sanggup berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.
Dalam periode globalisasi, pemerintah harus mengakomodasi tekanan internasional terhadap kebijakan pemerintah yang berkenanaan dengan masalah humanisme. Sebagai pola nyata ialah : gosip bahaya abolisi fasilitas bea masuk (Generalized System of Preferences – GSP) oleh Pemerintah dan Parlemen Amerika Serikat pada tahun 1993 terhadap bea masuk produk-produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Ancaman tersebut berkaitan dengan derma hak-hak buruh dan praktek buruh anak di Indonesia.
Pemerintah dituntut berperan untuk menengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dengan cara membuat hukum permainan dan mengatur kompromi diantara pihak-pihak berkepentingan. melaluiataubersamaini demikian pada hakekatnya, dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila (HIP), kebijakan UMR ialah titik keseimbangan sebagai hasil musyawarah bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini cukup jelas, yakni menunjukkan betapa upah tenaga kerja sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Sehingga yang muncul ketidaksatu paduan buruh dan pengusaha, justru rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan antara satu dan yang lain semakin mengkristalisasi perbedaan orientasi masing-masing.
Melihat problem ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, problem tenaga kerja, bukan lagi ialah problem individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, problem tenaga kerja di atas ialah problem sosial, yang balasannya membutuhkan penyelesaian yang fundamental dan menyeluruh.
Persoalan yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawaban negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya kepada pengusaha dan buruh. Sedangkan masalah kontrak kerja, sanggup diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan buruh. Pemerintah dalam hal ini spesialuntuk berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah kalau terjadi problem yang tidak sanggup diselesaikan oleh pengusaha dan buruh. Sehingga, menghadapi problem ketenagakerjaan ketika ini, rasanya tak cukup kalau pemerintah spesialuntuk melaksanakan revisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar problem ketenagakerjaan itu sendiri.
melaluiataubersamaini demikian semoga problem ketenagakerjaan sanggup diselesaikan dengan tuntas, maka problem pemenuhan kebutuhan masyarakat seharusnya menjadi serius perhatian. Selain itu, penyelesaian banyak sekali masalah ketenagakerjaan perlu dilakukan dengan tetap mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, tidak ada yang dirugikan, baik buruh maupun pengusaha.
Karenanya, langkah penting yang perlu diambil ialah melaksanakan kategorisasi, dengan memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang pribadi bekerjasama dengan kontrak kerja pengusaha dengan pekerja. Kategori pertama terkait dengan problem ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah serta tuntutan tuntidakboleh sosial. Sedangkan kategori kedua menyangkut problem kontrak kerja antara pengusaha dan buruh mencakup beberapa aspek problem PHK serta banyak sekali penyelesaian sengketa perburuhan lainnya.
Jika hendak menuntaskan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus bisa mencakup beberapa aspek penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh perjuangan penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan spesialuntuk bersifat kasuistis dan parsial, maka problem fundamental seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai. Pemerintah melaksanakan banyak sekali langkah yang bisa mempersembahkan nilai dan rasa keadilan, tidak saja bagi para pengusaha tapi juga bagi para buruh. Adanya pendapat bahwa problem ketenagakerjaan bukan semata-mata masalah buruh dan pengusaha, melainkan masalah bangsa ialah benar adanya. Maka, sudah semestinya pemerintah berupaya mempersembahkan penyelesaian yang adil bagi tiruananya.
Sumber:
- Abi Jumroh Harahap (Dosen Fakultas Hukum Universitas Medan Area) https://duniainformasisemasa367.blogspot.com//search?q=eksistensi-dan-akar-permasalahan-buruh
- http://www.zulkieflimansyah.com
- UUD 1945 dan Pancsila.
Sumber http://irwansahaja.blogspot.co.id