Budaya Sambas “Saru'an Dan Saprahan”, Mengandung Pesan Etika Dan Nilai Luhur.
Oleh. Irwan Kurniawan
Asyiknya bila teringat wacana keramaian, tawa canda, dan guyonan-guyonan saat kami sedang menyantap masakan di kenduri perkawinan tetangga kami. saat itu kami, bawah umur muda di daerah Jalan Pangsuma sedang duduk santai didepan kantor Telkom Kecamatan Pemangkat yang tak jauh dari rumahku sedang bercengkrama-bincang dan "bekati’ yang artinya bersenda gurau. Tak usang kemudian kami dihampiri oleh Pak Solihin yang ialah Pak RT di tempat kami. Ia bermaksud mengajak kami untuk memmenolong sebuah program pernikahan dari persiapan hingga tamat kenduri perkawinan tetangga kami.
Si bujang sebagai yang dituakan dalam kumpulan kami menyanggupi undangan dari pak Solihin. Sudah menjadi tradisi di wilayah itu untuk saling membatu kalau ada musibah, program atau kegiatan baik kegiatan bernuansa pribadi ataupun untuk kepentingan bersama. Kami percaya bahwa kalau tidak memmenolong akan menerima hukuman moral yaitu berupa perilaku hirau tak hirau dari orang lain saat keluarga kita mengadakan program atau tertimpa musibah.
Bagi yang mengadakan program harus memdiberitahukan masyarakat melalui Pak RT setempat atau melalui orang yang ditugaskan. Untuk teknis pemdiberitahuan tidak perlu memakai undangan cukup dengan “menyaru’/saru’an” atau memanggil/pangilan yaitu pemdiberitahuan pribadi kepada masyarakat oleh pihak yang melaksanakan program atau tertimpa tragedi alam dengan menhadiri rumah-rumah masyarakat dengan tujuan mengajak atau menggundang, baik undangan memmenolong atau menghadiri acara.
Aku merasa hal tersebut harus dilestarikan alasannya ialah memiliki dampak yang baik ibarat memupuk solidaritas, adanya kesetiakawanan sosial, adanya rasa satu nasib sepenanggungan, dan ialah suatu cara yang paling baik dalam mengundang atau mengajak alasannya ialah bersifat kekeluargaan. Biasanya kami juga diminta sebagai penyaru’ atau orang yang menyaru’ masyarakat. Pihak yang menyelenggarakan program harus menyediakan konsumsi untuk para masyarakat yang memmenolong persiapan maupun program inti. Konsumsinya berupa penganan, nasi serta laul pauknya, wajib ada sambal dan kopi.
Sesudah mendapatkan undangan Pak RT, kami pun pribadi menuju tempat yang akan diadakan program nikah tersebut. hingga di tempat tujuan kami berenam tersebut dipersilahkan duduk bersama masyarakat yang sudah hadir duluan. Tak usang kemudian Pak RT memulai pembicaran atau rapat untuk sumbangan kerja. Kami berenam mengerjakan pembuatan "tarub" atau tempat yang nantinya dipakai sebagai tamu undangan duduk yang ibarat dengan tenda. Tarub yang kami buat besarnya empat "tuntung" atau gawang yaitu jarak antar tiang pada tarub. Empat tuntung berarti empat jarak atau empat ruang yang tidak bersekat tapi ditandakan dengan tiang utama tarub sebelah kiri dan kanan tarub.
Karena si Bujang sebagai yang dituakan tentu saja ia berpengalaman dalam hal tersebut. saya dan Anjang (sebutan untuk anak yang lahir dengan badan tinggi biasanya anak ke-enam dari tujuh bersaudara atau lebih) bertugas membeli materi ibarat kayu, papan, paku, terpal dan tali rapia. kami berdua memakai motor hitam bercorak kemerahan dengan merek Honda segera melesat menuju toko bangunan. Toko bangunan itu terletak di tengah Kota Pemangkat yang padat. sehabis hingga ditoko bangunan kami berdua pun mencari bahan-bahan yang diharapkan dan melaksanakan negoisasi atau tawar menawar dengan tauke yang berbicara dengan bahasa sambas berlogat cina. kemudian kami berdua kembali ke tempat kenduri dan melaporkan pekerjaan kami pada si Bujang.
Tak terasa haripun sudah mulai petang dan azan maghrib pun berkumandang menggema disetiap penjuru Kota Pemangkat yang kecil namun padat itu. sehabis azan dan sholat selesai kami di panggil untuk makan bersama sehabis melaksanakan kerja. melaluiataubersamaini perut lapar kami pun bergerak menuju ruangan yang sudah dipersiapkan dengan makanan. Makanan-makanan tersebut disusun ibarat lingkaran, ditengahnya lauk pauk dengan tiga jenis lauk, dikelilingi sebanyak lima piring, nasi dan tempat basuh tangan. Sesudah dilihat ada lima posisi masakan ibarat itu. Sesudah menempati posisi masing-masing sesuai posisi piring kemudian tuan rumah mempersembahkan komando untuk memulai mencicipi. Layaknya pada zaman Rasullullah S.A.W gaya kami dan masyarakat lain. Bedanya terletak pada masakan dan tempat makanan. Pada zaman Rasullullah S.A.W , masakan yang disajikan berupa roti canai dan dalam satu tempat tetapi dalam budaya kami masakan berupa nasi dengan multi jenis lauk sehingga mustahil untuk dicampur ke dalam satu tempat. Bercermin dari sunnah tersebutlah budbahasa kami melaksanakan hal tersebut.
Teknik/sistem menikmati atau merasakan itu disebut dengan "Saprahan", atau duduk bersila bersama orang lain membentuk lingkaran, melingkari masakan yang disajikan kemudian menikmatinya bantu-membantu tanpa memakai sendok kecuali untuk mengambil lauk dan nasi yang dihidangkan. Sesudah selesai menikmati sedekah dari tuan rumah maka kami pun pamit untuk pulang ke rumah dan besok melanjutkan pekerjaan persiapan itu. Kesokan harinya tepat pukul 15.00 WIB ba’da ashyar, kami pun segera berkumpul lagi di tempat program dan melanjutkan pekerjaan kemarin tapi sebelum memulai kami disuguhi penganan dan air es untuk penyemangat bekerja. Kami bekerja dengan kegembiraan, di selingi dengan "pongahan" atau senda gurau sehingga kepenatan tak terasa. Sebelum sinar merah muncul di ufuk barat pekerjaan kami sudah selesai. kami pun kembali dipersilahkan merasakan masakan yang sudah dihidangkan sembari mendapatkan instruksi dari Pak RT untuk kegiatan malam yaitu mendbuntutasi ruangan ibarat membuat jamur dan lain-lain.

disuguhkan ke tamu undangan.
Dalam program perkawinan dalam budaya sambas dibagi menjadi dua sesi yaitu sesi pagi dan sesi siang hingga malam. Sesi pagi ialah program pernikahan dan tamu undangan ialah masyarakat sekitar dan orang memiliki kedudukan sosial serta para kerabat kedua mempelai. Sesi pagi dalam hal menikmati/system merasakan memakai cara Saparahan dan memakai hiburan Tanjidor. Sedangkan sesi siang disebut juga dengan program respsi yang dihadiri tamu undangan untuk orang-orang yang jauh, teman dekat mempelai, dan tamu kehormatan lainnya serta hiburan yang dipakai biasanya Group Band atau Organ Tunggal. system menikmati masakan dengan cara prasmanan. Prasmanan yaitu sistem menikmati dangan cara mengambil sendiri masakan yang disusun berjejer di atas meja yang sudah disiapkan dan menikmati dan duduk secara terpisah dari tamu lainnya serta memakai alat-alat masakan yang sudah disediakan.
Kami lebih bahagia dengan sistem saprahan alasannya ialah ialah sunah nabi (makan secara berjamaah), memiliki rasa sosial yang tinggi, menumbuhkan keakraban, menerima pengalaman, dan lebih santai dalam menikmati makanan. Biasanya di dalam saprahan banyak terjadi kisah-kisah menarikdanunik dan lucu sehingga susah untuk dilupakan. Salah satunya saat kami berenam dalam satu saprahan, lauk dan nasi terasa sangat cepat habis alasannya ialah diantara kami yang berjulukan Acun (keturunan Tionghoa) bertubuh besar tinggi melahap habis masakan tanpa sisa tanpa mempersembahkan peluang yang lain. melihat peristiwa itu si Bujang meminta suplemen makanan, lagi-lagi si Acun menghabiskannya hingga ia terbaring kekenyangan tak bisa bergerak ibarat ular sanca yang menelan sebuntut kambing. Tak ayal lagi tiruana orang tertawa melihatnya.
Sekian dariku memaparkan salah satu kebudayaan sambas yang mengagumkan yang pernah ku ikuti. supaya goresan pena ini bermanfaa dan sanggup menghibur rekan-rekan walaupun di dalam goresan pena masih banyak terdapat belum sempurnanya dan mungkin juga kesalahan. Untuk itu penulis haturkan permintaan maaf. Bukan sebagai guru atau orang pintar, penulis mengajak rekan-rekan untuk menghargai dan melestarikan budaya yang bermanfaa. Karena didalam budaya terdapat banyak pesan moral dan nilai luhur yang tinggi serta ialah kekayaan yang tak ternilai dan ialah bukti sejarah masa lampau[].
Sumber http://irwansahaja.blogspot.co.id