Cerpen Putri Malaikat
BEBERAPA waktu terakhir ini saya selalu merindukan wanita yang ikut bersama mimpiku. Ia selalu berkelebat disetiap pikiranku terlena. Tapi wanita itu tak pernah dapat ku sentuh, atau kuapakan lagi. Hanya suaranya yang selalu singgah di telingaku. Aku kadang tertawa sendiri, entah gila atau sekedar terlena oleh sandiwara yang selalu kumainkan. Tapi bukan sandiwara percintaan menyerupai yang sering kulihat di sinetron-sinetron televisi atau film-film yang biasa ku. Entah semenjak kapan perselingkuhan ganjil ini kumulai. Tiba-tiba segalanya mengalir begitu saja. Mulai dari berdiri pulas hingga saya memejamkan mata, dikala saya merasa sendirian, bayangan wanita yang selalu lekat dengan kerudung lebar putih serta pakaiannya yang serba putih itu selalu mengikutiku. Sesekali mengirimiku selimut atau sekedar mengucapkan, “Selamat Mimpi Indah” kadang menyita waktu pulasku yang biasanya kumulai dikala jarum jam di atas kepala atau kadang hampir pagi menjelang.
Aku merindukannya, tapi juga membencinya.
***
“MAAF anda siapa ya?” kataku suatu senja entah ke berapa kalinya.
“Anda tak perlu tahu siapa aku, menyerupai saya tak pernah mau tahu siapa engkau!”
Seperti biasa, selesai bicara beliau selalu menaburkan bunga diatas kepalaku. Bunga yang tak berwarna dan tak pernah kering.
“Kamu mau apa dari ku?” ucapku lagi.
“Mauku yang engkau mau. Tak usah marah!
Nikmati saja permainan ini. Aku sengaja hadir untuk menemanimu.
Dan saya tak pernah berniat jahat kepadamu. Maaf juga alasannya engkau tak dapat merabaku, menyerupai engkau meraba huruf-huruf di keyboard atau di beling monitor. Kamu juga tidak dapat menghayalkanku, menyerupai dikala engkau membuat cerita-cerita.”
Aku berfikir, apakah beliau ini jin.
“Jangan kasar! Belum saatnya engkau tahu siapa aku. Mungkin saya lebih insan dari pada engkau!!!”
Kemudian berkelebat secara perlahan, bunyi dan bayangan itu lenyap ditelan gerimis.
***
21 malam pun silam. Perempuan itu juga menghilang beberapa waktu. Tak pernah lagi kudengar suaranya. Aku rindu juga akan bayangan putihnya. Namun tak ada lagi yang menemaniku menghabiskan malam di sekitar rumah kontrakanku. Aku mulai membencinya, alasannya gres kusadari senja terasa ajaib tanpa kehadirannya. Kemudian beliau muncul lagi, juga dikala senja atau mulai malam.
Sejak itu saya menamainya ‘Perempuan Bayang Putih,’ alasannya memang beliau sering hadir dengan pakaian panjangnya berwarna putih membersihkan. Hanya sesekali tengah malam atau bahkan pagi-pagi sekali.
Dia juga sudah mulai mengucapkan, “Selamat pagi, bagaimana pulasnya semalam?”
Seperti biasa saya selalu menyampaikan berdiri kesiangan, alasannya semalaman terlalu asyik mengasah imajinasi.
“Jadi engkau lagi-lagi tidak melaksanakan kewajibanmu menghadap Penciptamu?”
“Ya, mungkin!,” ujarku santai. “Sungguh sial nasibmu!”
“Tapi saya selalu dapat menikmati malam!”
Kemudian beliau tertawa. Aku tak tahu maksudnya.
“Aku ingin menemanimu, dan saya ingin juga mengingatkanmu, itupun bila engkau tidak keberatan.”
“Aku pikir-pikir, tapi niscaya saya akan memerlukanmu,” ujarku santai tapi fokus.
Sejak dikala itu, saya mulai tidak pernah bertemu dengannya. Entah beberapa lama. Aku pernah mencoba
mencarinya di mesjid atau musholla. Siapa tahu wanita itu ada disana, atau beliau berada pada salah satunya. Namun tetap saja hasilnya nihil. Tapi yang mengherankan dan menciptakanku penamasukan, beliau dapat muncul kapan saja dan menghilang semaunya. Kemudian setiap malam beranjak, saya juga sering mampir ke kampus-kampus, mesjid kampus, siapa tahu bayangan tersebut juga yakni wujud nyata.
“Mencari siapa?” tanya seorang tukang parkir yang mungkin curiga melihat saya mondar-mandir di depan kampus, di wilayah penjagaannya.
“Mencari kawan.”
“Siapa namanya dan bagaimana ciri-cirinya?”
“Lupa namanya, tapi beliau seorang perempuan, biasa berpakaian panjang berwarna putih.”
“Bingung aku, anda tidak tahu namanya. Kalau ciri-cirinya menyerupai itu mungkin saja di Mushola kampus, tu, coba masuk kesana,” kata penjaga parkir itu menunjuk kearah musholla kampus yang tidak begitu jauh dan diarahkan melalui telunjuknya.
“Terima kasih sekali.”
Aku mencarinya, sempat juga menunggu hingga habis waktu Isya, namun yang kucari tetap saja tak ku
temui. Dan kelewat seringnya sehingga saya frustasi mencarinya dan membiarkan saja tiruana pengalaman pribadiku itu.
***
Aku merindukannya, tapi juga membencinya.
***
“MAAF anda siapa ya?” kataku suatu senja entah ke berapa kalinya.
“Anda tak perlu tahu siapa aku, menyerupai saya tak pernah mau tahu siapa engkau!”
Seperti biasa, selesai bicara beliau selalu menaburkan bunga diatas kepalaku. Bunga yang tak berwarna dan tak pernah kering.
“Kamu mau apa dari ku?” ucapku lagi.
“Mauku yang engkau mau. Tak usah marah!
Nikmati saja permainan ini. Aku sengaja hadir untuk menemanimu.
Dan saya tak pernah berniat jahat kepadamu. Maaf juga alasannya engkau tak dapat merabaku, menyerupai engkau meraba huruf-huruf di keyboard atau di beling monitor. Kamu juga tidak dapat menghayalkanku, menyerupai dikala engkau membuat cerita-cerita.”
Aku berfikir, apakah beliau ini jin.
“Jangan kasar! Belum saatnya engkau tahu siapa aku. Mungkin saya lebih insan dari pada engkau!!!”
Kemudian berkelebat secara perlahan, bunyi dan bayangan itu lenyap ditelan gerimis.
***
21 malam pun silam. Perempuan itu juga menghilang beberapa waktu. Tak pernah lagi kudengar suaranya. Aku rindu juga akan bayangan putihnya. Namun tak ada lagi yang menemaniku menghabiskan malam di sekitar rumah kontrakanku. Aku mulai membencinya, alasannya gres kusadari senja terasa ajaib tanpa kehadirannya. Kemudian beliau muncul lagi, juga dikala senja atau mulai malam.
Sejak itu saya menamainya ‘Perempuan Bayang Putih,’ alasannya memang beliau sering hadir dengan pakaian panjangnya berwarna putih membersihkan. Hanya sesekali tengah malam atau bahkan pagi-pagi sekali.
Dia juga sudah mulai mengucapkan, “Selamat pagi, bagaimana pulasnya semalam?”
Seperti biasa saya selalu menyampaikan berdiri kesiangan, alasannya semalaman terlalu asyik mengasah imajinasi.
“Jadi engkau lagi-lagi tidak melaksanakan kewajibanmu menghadap Penciptamu?”
“Ya, mungkin!,” ujarku santai. “Sungguh sial nasibmu!”
“Tapi saya selalu dapat menikmati malam!”
Kemudian beliau tertawa. Aku tak tahu maksudnya.
“Aku ingin menemanimu, dan saya ingin juga mengingatkanmu, itupun bila engkau tidak keberatan.”
“Aku pikir-pikir, tapi niscaya saya akan memerlukanmu,” ujarku santai tapi fokus.
Sejak dikala itu, saya mulai tidak pernah bertemu dengannya. Entah beberapa lama. Aku pernah mencoba
mencarinya di mesjid atau musholla. Siapa tahu wanita itu ada disana, atau beliau berada pada salah satunya. Namun tetap saja hasilnya nihil. Tapi yang mengherankan dan menciptakanku penamasukan, beliau dapat muncul kapan saja dan menghilang semaunya. Kemudian setiap malam beranjak, saya juga sering mampir ke kampus-kampus, mesjid kampus, siapa tahu bayangan tersebut juga yakni wujud nyata.
“Mencari siapa?” tanya seorang tukang parkir yang mungkin curiga melihat saya mondar-mandir di depan kampus, di wilayah penjagaannya.
“Mencari kawan.”
“Siapa namanya dan bagaimana ciri-cirinya?”
“Lupa namanya, tapi beliau seorang perempuan, biasa berpakaian panjang berwarna putih.”
“Bingung aku, anda tidak tahu namanya. Kalau ciri-cirinya menyerupai itu mungkin saja di Mushola kampus, tu, coba masuk kesana,” kata penjaga parkir itu menunjuk kearah musholla kampus yang tidak begitu jauh dan diarahkan melalui telunjuknya.
“Terima kasih sekali.”
Aku mencarinya, sempat juga menunggu hingga habis waktu Isya, namun yang kucari tetap saja tak ku
temui. Dan kelewat seringnya sehingga saya frustasi mencarinya dan membiarkan saja tiruana pengalaman pribadiku itu.
***
ENTAH keberapa malam ku lalui dengan kesendirianku. Namun kini entah mengapa, wanita itu hadir kembali, perasaan ku yang hampir kecewa dan sempat untuk melupakannya alasannya cukup usang beliau tidak hadir menemaniku. Sesudah sempat menghilang, wanita itu selalu menemaniku lagi. Hampir setiap malam, kala saya sendiri. Ia wanita yang kemudian bermetamorfosis menjadi kawan, pacar atau entah apa lagi. Dia selalu mengingatkanku untuk menghadap-Nya, dikala saya hampir terlupa. Bahkan sebelumnya, beliau yang mengingatkanku untuk menghadap Sang Pencipta karena, dikala itu saya sangat menyepelekan yang namanya ibadah. Kadang saya sempat menamai wanita berkerudung panjang dan berbayang putih bercahaya tersebut, sebagai “puteri malaikat,” mungkin julukan itu cukup hiperbola alasannya saya tidak pernah membaca atau mendengar ayat Al Qur’an yang sebut malaikat itu punya puteri atau istri. Tapi maksudku bukan untuk hal yang ilmiah dan perlu dipercayai, tapi spesialuntuk sekedar julukan padanya. Perempuan yang selalu menemaniku di kala kesepianku, tanpa dapat disentuh, tanpa dapat kupandang wajahnya, tapi kuyakin beliau wanita yang luar biasa, alasannya merdu suaranya, dan indah tutur kata serta bahasanya. Dan pada akhirnya, saya sendiri tidak mengerti, apakah saya ini masih waras, dengan keadaan menyerupai itu. Atau juga apakah itu tiruana spesialuntuk imajinasiku. Padahal saya selalu bersamanya, dikala kesepianku. Aku tidak merasa sendiri. Kadang ia juga hadir dalam mimpiku, tapi juga dalam kesadaranku.[*]
Pandan_putih ‘02 (Iskandar/ Mimbar Untan)
Sumber http://irwansahaja.blogspot.co.id