Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Makalah Pembelajaran Berbasis Lingkungan Dan Budaya Lokal

Kearifan Lokal yang tercermin dalam Permainan Tradisional

Dede Kosasih

A. Purwawacana

“Keine Zeit hat so viel und so männigfaltiges vom Menschen gewust wie die heutige…
Aber keine Zeit wuste weniges, was der Mensch sei, wie die heutige. Keine Zeit ist der Mensch
so fragwurdig geworden wie der Unsrigen.”
(M.Heidegger, “Kant und das Problem der Metaphysik”, Bonn, 1929)

Kutipan di atas ini saya pergunakan sebagai wawasan dasar yaitu bahwa perjuangan pemahaman wacana martabat insan dan kemanusiaan umumnya, tidak untuk berpretensi akan membawa pemahaman itu hingga pada suatu kesimpulan lingkaran dan final, apalagi sempurna, walaupun dikaji dari aneka macam sudut pandang. Namun demikian, sekurangkurangnya kita diberikhtiar bersama untuk berkontemplasi memandang permasalahan yang
dihadapkan kepada kita. Minimal mendapatkan wawasan pemanis yang bisa lebih memperkaya upaya kita memahami martabat manusia, yang berarti juga memahami diri kita sendiri. Oleh lantaran itu, untuk memahami wacana martabat insan dan kemanusiaan itu, dipandang perlu adanya upaya-upaya yang bermuara pada pendidikan humaniora. Karena pendidikan humaniora itu pada hakekatnya mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya ialah serpihan integral dari sistem budaya. Kandungan pendidikan humaniora ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki masing-masing subkultur, sehingga sanggup ditemukan varian-varian pendidikan humaniora sesuai dengan pengelompokan masyarakatnya. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah forum pendidikan, maupun secara informal melalui aneka macam bentuk komunikasi sosial.

B. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan

Manusia, di mana pun baik secara eksklusif maupun tidak, bahkan seringkali tanpa disadarinya, untuk tetap sanggup melangsungkan kehidupannya akan selalu bergantung pada lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup. Hubungan antara insan dengan lingkungan fisik dan alamnya itu tidaklah semata-mata terwujud sebagai kekerabatan ketergantungan insan terhadap lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai suatu kekerabatan di mana insan menghipnotis dan merubah lingkungannya. melaluiataubersamaini kata lain, insan juga turut menciptakan
corak dan bentuk lingkungannya. Manusia, dari satu segi menjadi serpihan dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup; tetapi dari segi yang lain lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup yakni serpihan dari dirinya.

Kerangka landasan yang membuat dan membuat insan bergantung pada lingkungannya yakni kebudayaan. melaluiataubersamaini demikian, manusia, kebudayaan dan lingkungan ialah tiga faktor yang saling menjalin secara integral. Pernyataan ini berakar dari pandangan Slotkin (dikutip oleh Adimihardja, 1993) bahwa “the organism and its environment must be suited to each other”. Pandangan ini mengisyaratkan perlunya kekerabatan timbal balik yang serasi dan serasi antara insan dengan lingkungannya. melaluiataubersamaini demikian, suatu jenis mahluk hidup akan sanggup mempertahankan kelangsungan eksistensinya sepanjang merasa sebagai serpihan integral dari lingkungan hidupnya serta bisa mengikuti keadaan dengan lingkungannya.

Lingkungan alam sanggup mempersembahkan daya dukung kehidupan dalam aneka macam bentuk kemungkinan yang sanggup dipilih insan untuk memilih jalan hidupnya. Menurut Forde (1963) bahwa kekerabatan antara acara insan dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia. Oleh lantaran itu, pengembangan pilihan-pilihan itu sangat bergantung pada potensi kebudayaan insan yang berdasarkan kenyataan sejarah dapat berkembang secara pesat lantaran kemampuan akalnya. Selain berupa alam, lingkungan tempat insan hidup juga meliputi beberapa aspek lingkungan sosiobudaya, dan oleh lantaran itu konsep insan harus dipahami sebagai mahluk yang bersifat biososiobudaya (Adimihardja, 1993). Dalam konsep biososiobudaya tersebut, keseluruhan pengetahuan insan harus digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan untuk membentuk tingkah-lakunya dalam masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 1980). Menyimak definisi ini, kebudayaan tersebut dapat dilihat sebagai “mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973), atau sebagai “pola-pola bagi kelakuan manusia” (Keesing & Keesing, 1971). Pendek kata, kebudayaan ialah serangkaian aturan, petunjuk, dan resep yang terdiri dari serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh insan yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).

Wujud kebudayaan intinya ialah pengikat para pendukungnya dalam menghadapi lingkungannya. Maka wujud kebudayaan tersebut akan terefleksikan dalam pola berpikir dan totalitas sikap suatu masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Rusyana dkk. (1988) beropini bahwa wujud kebudayaan dalam suatu masyarakat sanggup dihampiri melalui 3 perspektif. Perspektif yang pertama memandang wujud kebudayaan sebagai sistem adaptif. Dalam perspektif ini wujud kebudayaan dalam suatu masyarakat ialah pengikat para pendukungnya dalam menghadapi lingkungannya, baik lingkungan alam sekitar maupun lingkungan sosial. Kedua, wujud kebudayaan dipandang sebagai sistem kognitif, yang mencerminkan pola berpikir dan totalitas sikap suatu masyarakat dalam memperlakukan alam dan menjalani kehidupannya. Adapun dalam perspektif yang ketiga, wujud kebudayaan sanggup dipandang sebagai suatu sistem struktur. Menurut perspektif ini, di dalam kebudayan terdapat susunan yang tertib, yang bisa mengatur kelangsungan hidup serta kehidupan manusia. Maka melalui kebudayaan itulah insan membina interaksi dengan sesamanya, lingkungannya, serta mewariskan nilai-nilai yang dianggap bermanfaa bagi kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem kebudayaan yang dimiliki secara sosial itu akan tampak dalam wujud simbol dan sikap suatu masyarakat. Menurut Suparlan (1980), simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibentuk atau dimengerti oleh para masyarakatnya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Untuk memahami dan mendalami suatu kebudayaan, maka simbol-simbol dan kodekode itu harus pula dimaknai secara sosial. Hal ini terkait erat dengan salah satu kodrat dasar manusia, yaitu mempunyai kemampuan menginterpretasi dan mengkreasikan simbol-simbol. 

Dalam kaitan ini, Cassirer (1944) mengatakan: “...Man has, as it were, discovered a new method of adapting himself to his environment. Between the receptor system and the effector system, which are to be found in all animal species, we find in man a third link wich we may describe as the symbolic system. This new acquisition transforms the whole of human life. As compared with the other animals, man lives not merely in a broader reality; he lives so to speak, in a new dimension of reality...”
Dari kutipan di atas, sanggup disimpulkan bahwa insan ialah animal simbolicum, yakni mahluk yang memakai media berupa simbol dalam memdiberi arti dan mengisi kehidupannya (Daeng, 1991). Sejalan dengan Cassirer dan Langer, Garna (1996) juga beropini bahwa keistimewaan insan justru terletak pada kemampuannya untuk memberikan simbol-simbol secara verbal dan non-verbal. Maka lantaran sifat inilah insan dibedakan dari hewan, lantaran insan bisa membuat serta memanfaatkan simbol-simbol sebagaimana mestinya.

Lingkungan simbolik, bersama-sama dengan lingkungan material (fisik) dan lingkungan sosial, mengikat kehidupan insan (Kuntowijoyo, 1987). melaluiataubersamaini demikian, simbol memungkinkan insan bukan spesialuntuk untuk berfikir dan mengadakan kontak dengan realitas kehidupan dirinya tetapi juga untuk mengawetkan hasil berfikir dan kontak itu kepada dunia. White (1949), seorang antropolog, sangat menekankan pentingnya simbol, lewat argumennya:
“All human behavior originates in the use of symbols. It was the symbol which transformed our anthropoid ancestors into men and made them human. All civilizations have been generated and are perpetuated, only by the use of symbols. All human behavior consists of, or is dependent upon, the use of symbols. Human behavior is symbolic behavior; symbolic behavior is human behavior. The symbol isuniverse of the humanity”.
Kaprikornus menurutnya, dengan berguru lewat simbol-simbol inilah kebudayaan sanggup diwariskan dari satu generasi ke generasi diberikutnya, ahirnya kebudayaan menjadi milik suatu masyarakat.

C. Manusia sebagai Mandat Kultural Lingkungannya

Manusia ialah sentra kehidupan (antroposentris) dalam arti kelebihan nalar budinya, maka mahluk yang berjulukan insan itu mempunyai kedudukan yang tinggi apabila dibandingkan dengan yang lainnya. melaluiataubersamaini kelebihan nalar budinya tersebut insan mempunyai mandat kultural yang terkait dengan pengelolaan, pengaturan, dan pemeliharaan lingkungan hidup dari kerusakan (Sastrosupeno, 1984). melaluiataubersamaini demikian insan sendirilah yang bersama-sama menjadi tujuan lingkungan hidup sebagaimana terwujud dalam aneka macam bentuk memanfaatkan yang ditarik dari padanya. Dari mandat kultural inilah kemudian berubah menjadi sistem mata pencaharian, teknologi maupun aneka macam bentuk acara yang bersifat ritualistik.

Namun ternyata dalam kaitan sebagai pengemban mandat kultural itu, seringkali muncul dikotomisasi secara ektrem antara insan di dunia belahan Barat dengan insan di dunia belahan Timur. Manusia dunia Barat sering diidentifikasikan dengan konsep insan menaklukan lingkungan. Sebagai kontrasnya insan dunia Timur sering diidentifikasikan sebagai insan yang menganut konsep menjaga keutuhan dan keharmonisan dengan lingkungan. Dua konsep yang tidak sama dalam kekerabatan antara insan dengan lingkungan tersebut menghasilkan dampak lingkungan yang sangat tidak sama pula. Konsep dunia Barat terbukti sudah melahirkan problem besar bagi lingkungan, akhir pengrusakan dan pencemaran yang ditimbulkannya. Namun, ketika insan Barat mulai menyadari akan kekeliruannya maka insan di dunia belahan Timur dengan jadwal modernisasi dan pembangunannya, justru mengikuti dan mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan dunia Barat (Nawiyanto, 1995).

Dewasa ini di dunia belahan Timur (negara-negara sedang berkembang), sedang berlangsung pembukaan dan penghancuran yang membabi-buta hutan basah, dengan tingkat pengrusakan 11,4 juta hektar pertahun atau 21,6 hektar per-menit. melaluiataubersamaini adanya sistem perladangan berpindah-pindah, didirikan pemukiman baru, peternakan yang berskala raksasa dan industri kehutanan, yakni lantaran utama rusaknya hutan (Salim, 1988). Hal ini seyogyanya tak perlu terjadi, bila kita mencermati cara bertindak nenek moyang kita dalam kekerabatan dengan hutan yang begitu mesra, selaras dan dihadapi secara arif.

Seperti yang dipaparkan Mochtar Lubis (1988), bahwa di antara nilai budaya bau tanah suku-suku bangsa Indonesia yakni nilai budaya yang membawa insan bekerjasama erat dengan alam sekitarnya. Kepercayaan nenek moyang kita di jaman lampau, bahwa setiap benda, selain dari mahluk hidup, mempunyai pula jiwa atau roh sendiri. melaluiataubersamaini demikian sudah mengakibatkan kesadaran untuk memelihara keselarasan antar kehidupan insan dengan alam sekitarnya. Sebagai salah satu pola kearifan dalam menyikapi lingkungan yang kini masih dipelihara, cukuplah kita menengok ke kampung Cibeo, di lereng pepegununganan Banten Selatan. Di wilayah itu kita bisa kita jumpai yakni orang Baduy. Sebenarnya mereka lebih sering dan lebih bahagia menyebut diri dengan sebutan Urang Rawayan (Haryoto Kunto, 1986), atau menengok masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya.

Urang Rawayan ialah masyarakat yang terbilang masih lugu (basajan) dan polos, bersama-sama banyak menyimpan budpekerti tatanan hidup dan kepercayaan yang menarikdanunik. Kehidupan mereka yang sangat berpengaruh memegang tradisi ini menjadikan mereka sangat dekat dengan alam sekelilingnya. prinsip hidup yang paling mendasar, dipegang teguh oleh Urang Rawayan yakni Pikukuh Baduy. Salah satunya yakni mengemban kiprah dari Batara Cikal untuk menjaga dan melestarikan bumi beserta segenap isinya!” dalam bahasa mereka: “Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (Garna, 1988). Mereka sangat patuh dan yakin kepada pikukuh yakni perintah dan petuah para leluhurnya, supaya hidup menjalankan “pola hidup sederhana”. melaluiataubersamaini tujuan ahir untuk menjaga perdamaian dan karahayuan sehingga terciptalah keselamatan dan kelestarian hidup seisi dunia.

Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana pada hakekatnya mengandung makna menjaga warisan suci di atas bumi. Adapun arti “warisan suci di atas bumi” ialah kelestarian alam yang masih terjaga, tanah yang tetap rindang ma`mur loh jinawi, sumber air yang belum tercemar, udara yang masih membersihkan sehat belum kena polusi. Serta bumi yang masih terjaga keseimbangan ekologisnya; tetap saluyu rahayu, serasi di antara seluruh penghuninya. Sedangkan lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya; panjang dihentikan dipotong, pendek dihentikan disambung. Pikukuh ini ialah hakikat dari prinsip konservasi Urang Rawayan yang menyatakan menjaga dan melestarikan kelangsungan proses perubahan alamiah secarawajar.

Tulisan ini secara khusus akan diseriuskan untuk menyoroti dan mengungkap dimensi sosiokultural wacana kearifan lokal yang tercermin dalam permainan tradisional secara diakronis dengan mempertautkan masa bihari dan masa kiwari.

D. Dunia Anak-Anak: Sebuah Ancaman Kultural

melaluiataubersamaini hiruk pikuknya lalu-lintas teknologi informasi yang begitu mengglobal sekarang
ini, masyarakat kita yakni termasuk salah satu yang tidak bisa berbuat banyak. Salah satunya
yang dirasakan sangat terpuruk yakni dunia bawah umur (sudah usang para orang tua, pendidik
serta mereka pemerhati dunia bawah umur melontarkan keprihatinan bahwa bawah umur sedang kehilangan dunianya). Maksudnya keprihatinan yang dirasakannya itu bila dibandingkan dengan dunia orang bau tanah mereka tempo dulu. Buktinya memang sangat faktual dan gamblang bahwa sikap kehidupan bawah umur kini sudah sangat lain dengan pola kehidupan orang bau tanah mereka semasa kanak-kanan. Menurut pengamatan dan evaluasi aneka macam pihak, sikap kehidupan anak terutama dalam  bermain, kini ini tidak mendidik dan cenderung ke arah sikap yang konsumtif dan individualistis.

Menurut Abdulah Mustafa (PR), dari tanda-tanda itu banyak orang yang setuju bahwa sinyalemen ibarat itu memang tepat adanya. Anak-anak tempo dulu sangat tertantang oleh alam dan lingkungan hidupnya berada. Mereka memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya. Sebagai akibatnya, mereka harus kreatif, selalu siap menghadapi tantangan dan rintangan yang muncul setiap saat.

Dunia anak-anak, termasuk fantasi, imajinasi serta tantangan-tantangan kreativitasnya, berdasarkan para akhli ialah modal yang sangat vital terhadap kemungkinan terbentuknya sebuah kepribadian seorang insan secara utuh. Jika kepribadian seorang insan nantinya diterima sebagai hasil sebuah proses, maka materi dasarnya yakni dunia bawah umur itu. Bagaimana format yang akan terbentuk nanti, sangatlah bergantung pada materi dasarnya.

Bagi bawah umur yang dibesarkan dalam kultur Sunda tempo dulu, sangat banyak tersedia masukana bermain bagi mereka. Bahkan semenjak pagi hingga malam hari, anak pria dan anak wanita masing-masing mempunyai jenis permainan sendiri-sendiri. Ada gatrik buat anak laki-laki, dan sondah buat anak perempuan, tiruana itu umumnya dimainkan pada siang hari. Di malam haripun, terutama jikalau bulan sedang purnama, bawah umur masa kemudian tidak pernah melewatkan diri dengan pulas sore-sore. Mereka sangat terbiasa bermain dan bernyanyi dengan penuh kegembiraan hingga larut malam di halaman, ada yang bermain ucing kalangkang, galah, pakaleng-kaleng agung dan sebagainya, tanpa khawatir mencakupk dan mengganggu orang bau tanah yang mestinya sedang istirahat. Orang bau tanah masa kemudian juga biasanya tidak pulas sore-sore lantaran mereka juga terus bekerja (biasanya membuat anyaman) atau ngobrol hingga larut malam.

Umumnya dalam permainan (kaulinan barudak) yang sifatnya rekreatif sangat bertautan dengan kakawihan barudak. Antara permainan dan kakawihan itu ialah dwitunggal yang tidak bisa dipisahkan. Untuk pembahasan selanjutnya akan digunakan istilah KKB (Kaulinan dan Kakawihan Barudak). Umpamanya dalam permainan oray-orayan, tidak terlepas dari ienteng kakawihan barudak. Begitu juga dalam cara bermainnya biasanya harus melibatkan lebih dari  lima orang. Pada permainan ini sejumlah anak berkumpul di suatu halaman rumah yang cukup luas. Biasanya hal ini dilakukan baik sore hari maupun malam hari ketika bulan sedang purnama.

Ketika harus memilih siapa yang menjadi serpihan kepala (ular), biasanya dilakukan dengan diundi yang memakai nyanyian (kakawihan) Hompimpah atau Cingciripit. Sesudah terpilih, yang lainnya saling berebutan untuk berada di belakang sang kepala ular. Mereka berbaris saling berpelukan dan berjalan meliuk-liuk sambil mendendangkan lagu: ”Oray-orayan. Orang naon ? Orang bungka ! Bungka naon ? Bungka Laut ! Laut naon ? Laut dipa ! Dipa naon ? Di pandeuri ! kok...kok...kok...! Sesudah berakhir lagu ini maka riuh rendahlah bunyi anak-anak, ada yang tertawa cekikikan, menjerit dan sebagainya, lantaran dalam permainan ini sang kepala ular harus menangkap buntutnya atau anak yang berada pada barisan paling belakang.

misal lain bagaimana padunya antara kaulinan dan kakawihan, dalam konteks folklor disebut play rhyme, yakni Huhuian. Permainan ini dilakukan oleh sejumlah anak, biasanya lebih dari lima orang. Kemudian ditentukan seorang pimpinan serta tokoh “nini dan aki”. Tangan sang pimpinan (kepala) bisanya memegang erat sebuah pohon atau sebuah tonggak yang berpengaruh sambil jongkok atau duduk. Sesudah itu, kemudian diikuti mitra lainnya sambil memegang erat pinggang sang pimpinan. Ini pun dilakukan secara berbaris dan berpelukan. Sesudah itu “si nini” bernyanyi,
“Kelenang-keleneng samping konéng
Keledat-keledut samping butut”
Sambil “ngawih” si nini ini memukul kepala kawan-kawannya dari yang pertama hingga yang terakhir. Selesai mendendangkan lagu terjadilah obrolan antara sang pimpinan dengan sinini.
+Saha di dapur? (ucap sang pimpinan)
- Nini jeung aki.
+ Rek naon?
- Ngala hui.
+ Pék wé ala!

Ketika anak (barisan serpihan buntut/belakang) dicabut/ ditarik oleh nini dan aki, maka ramailah bunyi jeritan bawah umur dengan penuh gembira. Akan semakin seru lagi mabadunga si nini dengan sekuat tenaga mencoba menarikdanunik bawah umur supaya terlepas dari ikatan kawankawannya. Meskipun jenis maupun bentuk permainan di atas sangat sederhana, tetapi secara tidak eksklusif mengandung makna yang sangat berkhasiat terutama bagi pemupukan sikap mental anak-anak. melaluiataubersamaini jenis permainan tersebut, bawah umur bisa menikmati kegembiraan hidup tanpa harus dibeli oleh nilai rupiah. Selain itu, nampak pula sikap kebersamaan dan rasa solidaritas bawah umur dalam bermain di masa lalu, hampir sanggup dipastikan jauh lebih komunikatif satu sama lainnya. Karena jenis permainannya yang memerlukan mitra secara kelompok, antara empat hingga delapan bahkan bisa lebih.Dunia ibarat itulah yang kini sudah berangsur-angsur hilang. 

Dunia bawah umur kini ini umumnya ialah dunia yang pasif. Sebagian waktu senggang mereka yang seharusnya digunakan untuk bermain, dihabiskan dengan menongkrong di depan TV bermain PS atau game-watch atau video-game. Biasanya anak itu jikalau dihampiri oleh kawannya akan merasa terganggu lantaran dalam bermain alat itu memerlukan serius. Mereka (anak-anak) benar-benar menjadi objek, dalam arti bukan sebagai pelaku yang aktif (subjek). Melihat kondisi semacam itu, besar kemungkinan tercerabutnya bawah umur dari dunianya yang asli, bahkan bisa dikatakan sebagai bahaya yang sangat fokus. Dalam transformasi budaya yang bisa mengakibatkan konflik kepribadian itu yang bersama-sama tersembunyi bahaya kultural yang tidak bisa dianggap enteng.

E. Permainan Tradisional dalam Persimpangan Jalan

Eksistensi permainan tradisional (kaulinan dan kakawihan barudak) pada ketika kini ini sanggup dikatakan hampir mendekati kepunahan. Salah satu faktor penyebabnya yakni ketidaktahuan si anak, menjadi penghambat berkembangnya permainan tradisional baik di kalangan masyarakat atau anak itu sendiri. Adapun ketidaktahuan itu disebabkan di antaranya:
1. Orangtuanya yang tidak berusaha mengajarkan/ memdiberitahukan pada anaknya.
2. Orangtuanya yang memang tidak tahu menahu wacana hal tersebut.
3. Si anak yang tidak berusaha tahu.
4. Pergaulan yang memang memdiberi peluang terhadap anak dalam mempunyai tendensi
ruang tradisi.

Adapun ketidakmampuan insan untuk bertindak intrinsik diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk berguru ini dimungkinkan olah berkembangnya intelegensi dan cara berpikir simbolik. Terlebih-lebih insan mempunyai budi yang ialah pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan dengan pikiran, kemauan dan fantasi.

Kurangnya kiprah serta generasi sebelumnya terhadap bawah umur di masa kini ini mengakibatkan si anak kehilangan mata rantai yang seharusnya mereka temukan dan mereka dapatkan, atau bahkan kekurangpedulian si anak sendiri terhadap permainan tradisional dan mereka tidak berusaha bertanya/tahu permainan jenis apa yang orangtua mereka dapatkan sewaktu kecil.

Tidak bisa dielakkan, ketika perubahan dan pergeseran budaya muncul, sementara dari waktu ke waktu pikiran insan semakin kritis terhadap suatu hal. Mereka mencoba untuk mencari sesuatu yang gres dan akungnya mereka seolah meninggalkan atau bahkan tidak melihat yang lama. Perubahan-perubahan sosiokultural bisa disebut sebagai hasil suatu pembangunan dan proses modernisasi. Dalam proses tersebut terjadi interaksi-interaksi baik dalam tataran makro maupun dalam tataran mikro (individu). Semua interaksi tersebut membuahkan akibat-akibat tersendiri pada suasana psikologi manusia.

Soerjono Soekanto (1981) menyatakan bahwa yang mengakibatkan perubahan sosial itu di antarannya kondisi-kondisi primer yang ada di dalam masyarakat itu sendiri ibarat ekonomi, teknologi, geografis, bahkan biologis. Teori ini jikalau diaplikasikan dalam KKB, maka KKB pun sudah mengalami perubahan bahkan pergeseran nilai. Terlepas dari nilai estetik, KKB ini mengalami pergeseran nilai khususnya nilai sosial, ketika sekelompok anak pada jaman sebelumnya dekat dengan KKB. Hal ini terbukti kurangnya perhatian secara sadar maupun tidak sadar pihak masyarakat atau pihak pengajar dalam memperkenalkan KKB tersebut pada anak secara eksklusif maupun tidak langsung.

Dari paparan di atas, sanggup kita simpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan sebuah kebudayaan tergantung dari pola pikir insan itu sendiri dalam mendapatkan rangsangan dari luar maupun dari dalam. Seperti halnya perubahan serta pergeseran nilai sosial KKB di kalangan masyarakat kini sedang terjadi. Jika hal ini dibiarkan, bagaimana KKB di masa menhadir, dan hal ini ialah satu wacana untuk diterjemahkan dan perlu disiasati.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, dirasakan dan sangat mendesak perlu adanya upaya-upaya untuk menanamkan nilai-nilai budaya kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut yakni pelatihan KKB melalui pengkajian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Upaya ini diperlukan sanggup mewujudkan kebudayaan nasional yang tangguh dan utuh yaitu bisa memperkokoh solidaritas dan mempersatukan kehidupan bangsa, sekaligus sanggup menjadi pujian nasional.

Berkaitan dengan hal ini, Keesing (1971) mengemukakan bahwa pola, pandangan, sikap, dan sikap insan di aneka macam belahan bumi sanggup diamati, dipelajari, dan diungkapkan melalui kebudayaannya. Melalui kebudayaan itulah, insan membina interaksi dengan sesamanya, dengan alam, serta mewariskan nilai-nilai yang dianggap bermanfaa bagi kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi. Hal itu berarti bahwa kebudayaan secara eksklusif ataupun tidak langsung, bisa mempersembahkan identitas tertentu bagi individu dan masyarakat pendukungnya.

Pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional harus dimulai dengan inventarisasi, pendokumentasian serta penelitian yang menyingkap latar belakang sosiokulturalnya, terhadap KKB sebagai serpihan dari folklor. Usaha-usaha ini terperinci akan besar keuntungannya bagi pembangunan kebudayaan nasional yang sedang kita bina bersama, lantaran diyakini bahwa dalam KKB itu terkandung nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan mempunyai fungsi sosial sebagai pengkokoh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat Sunda.

Fungsi-fungsi itu berdasarkan William R. Bascom (Dananjaya, 1984), ada empat, yaitu a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif; b) sebagai alat pengukuhan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; c) sebagai alat pendidikan (pedagogical device); dan d) sebagai alat pemaksa dan pengawasan supaya norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Di antara fungsi-fungsi yang dikemukakan di atas, yang paling menonjol dari KKB itu yakni fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, atau untuk menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga sanggup pula menjadi semacam pelipur lara, atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan, sehingga sanggup memperoleh kedamaian jiwa.

Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, ternyata KKB itu perlu dikaji lantaran ialah warisan budaya yang tak ternilai. Dan penggalian serta pemeliharaan budaya Sunda itu sangat bermanfaa, yang salah satunya yakni bermanfaa bagi pendidikan, ibarat yang dikemukakan oleh Yus Rusyana (1988) bahwa :
“Penggalian budaya kawasan itu akan mempersembahkan kepuasan rohani serta mengakibatkan kecintaan terhadap budaya sendiri dan menjadi penghambat kokoh terhadap arus masuknya kebudayaan absurd yang tidak sesuai dengan kepribadian atau kepentingan pembangunan bangsa. Keselarasan kemajuan teknologi dan pengetahuan dengan pembangunan jiwa akan besar sekali artinya bagi pembangunan lahir dan batin”

F. PENUTUP

Dalam KKB itu terkandung nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan mempunyai fungsi sosial sebagai pengkokoh nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat Jawa Barat. Dilihat dari segi fungsinya, KKB yang paling menonjol yakni fungsi rekreatifnya. Fungsi ini menjadi sangat penting bagi petani pedesaan yang bertempat tinggal di kawasan pedalaman yang sangat terpencil dan kurang mempunyai hiburan yang lain kecuali permainan dan acara kesenian. Fungsi yang lain yakni sebagai media belajar. Hal ini penting terutama bagi anak-anak. Permainan bertanding yang bersifat keterampilan fisik, misalnya, berfungsi membuatkan kecekatan gerakan otot-otot para pemain kecil itu. Permainan bertanding yang bersifat siasat berfungsi untuk membuatkan daya berpikir. Sedangkan fungsi yang lain yakni fungsi pedagogik yang mendidik seorang anak, juga orang dewasa, untuk menjadi orang yang berjiwa sportif. Dari tiruana fungsi-fungsi itu, sanggup diperas menjadi satu (intisari), yaitu fungsi untuk menyiapkan kanak-kanak supaya kelak sanggup berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat orang dewasa.

Makalah ini disampaikan pada Workshop Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPS yang diselenggarakan oleh Asgar Muda Garut tanggal 30 Juli 2008 di Pendopo KabupatenGarut

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Mustappa. 1997 Dunia Anak-Anak Kita yang Sedang Terancam. Pikiran Rakyat, Edisi Khusus. Kamis, 24 April 1997.
Adimiharja, Kusnaka. 1993. Kebudayaan dan Lingkungan: Studi Bibliografi. Bandung: Ilham Jaya.
Bintarto, R. 1979. Metode Analisis Geografi. Jakarta: LP3ES.
Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man. Yale University Press.
Daeng, Hans. 1991. ‘Manusia, Mitos dan Simbol’. Dalam Basis, Vol. XL No. 1, hal. 15-36
Dananjaya, James. 1984 Folklor Indonesia, Jakarta : Graditipers
Forde, CD. 1963. Habitat, economy and society. New York:Dutton.
Garna, Judistira K..1988. Tangtu Telu Jaro Tujuh (Desertasi). Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Geerzt, C. 1973. The impact of the concept of culture on the concept of man. Dalam: The interpretation of cultures: Selected Essays. New York: Basic Books. 126-141.
Harian Kompas edisi tgl. 2, 16, 28 April 2001.
Keesing, F.M & R.M Keesing. 1971. New perspectives in cultural anthropology. Chicago: Holt, Rinehart, and Winston.
Koentjaraningrat .1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru
Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Grguasia.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Jogjakarta: PT. Tiara Wacana.
Loebis, Mochtar. 1988. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Nawiyanto, S. Budaya Kelangenan dan Isu Lingkungan. Basis edisi Juli 1995 XLIV No. 7 hal 253.
Rusyana, Yus .1981. Cerita Rakyat Nusantara. Bandung : Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Bandung.
Rusyana, Yus, dkk. 1988. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini.(Tahap III) Jakarta: Dep. P&K Direktorat Jenderal Kebudayaan. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.
Salim, Emil. 1988. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Sastrosupeno, Suprihadi. 1984. Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soekanto, Soerjono .1981. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI Press
Spradley, J.P. 1972. Foundations of cultural knowledge. Dalam: Culture and cognition. Rules, maps and plans. San Francisco: Chandler 2-38.
Suparlan, Parsudi. 1980. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya Perspektif Antropologi Budaya. Dalam: Yang Tersirat dan Tersurat. Fakultas Sastra: Universitas Indonesia.

Sumber http://irwansahaja.blogspot.co.id